Hakikat Manusia adalah Petualang, merindukan Jannah sebagai tujuan pulang

Manusia sejatinya adalah seorang petualang.  Mahluk yang secara sadar menjadikan setiap fase kehidupan sebagai petualangan. Secara harfiah, bertualang dapat diartikan sebagai mengembara ke banyak arah dan berbuat suatu hal yang nekat. Seorang petualang sejati tak jarang berusaha mencapai suatu hal dengan cara yang bisa saja diluar logika.



Pernah mendengar kisah tentang orang-orang yang menghabiskan sebagian besar bahkan hampir seluruh hidupnya untuk bertualang? Silahkan menilik ulang sejarah para penjelajah kuno. Christoper Columbus, Ferdinand Magelhaens, Marco Polo hingga Vasco da Gama. Bisa juga menapak tilasi kisah sahabat Rasulullah; Said ibn Abi Waqqash yang berdakwah hingga negri Tiongkok hingga Ibnu Battutah yang sempat menjelajahi banyak kerajaan Nusantara.

Itulah manusia. Hakikat sebenarnya terdapat pada pencarian atas tanya yang tak kunjung memberi jawaban. Hakikatnya memang menjadi petualang.

Jati diri manusia terletak pada petualangan, jiwa asli manusia dapat ditemukan dalam setiap perjalanan.

Sejak manusia pertama diciptakan, tabiat awal manusia memang diciptakan untuk menjadi seorang petualang.

Bukankah Adam AS & Hawa harus bertualang menuju Jabal Marwah ,setelah sebelumnya diturunkan Allah di dua tempat berbeda? Hingga pada akhirnya hidup bahagia dan menghasilkan keturunan hingga detik ini. Hingga saya menulis keresahan ini, hingga anda membaca kegalauan diri ini.

Pagi ini saya terbangun dan menyadari bahwa Ramadhan kali ini akan berakhir. Pergi meninggalkan, tidak ada jaminan akan kembali datang. Petualangan 30 hari lamanya akan mencapai tujuannya sebentar lagi. Entah, hari kemenangan. Atau sekedar euforia kesenangan sesaat karena sebenarnya Ramadhan kali ini telah "gagal". Naudzubillah.

Lebih jauh, Ramadhan ini adalah miniatur kehidupan. Ramadhan penuh dengan ujian, terlebih lagi kehidupan. Jika kita bisa memanfaatkan Ramadhan, bisa jadi berakhir kemenangan. Begitupun apabila dalam hidup, kita sukses menyelesaikan semua amalan dan menjauhi larangan. Sama-sama petualangan yang pasti kita lalui.

Simpulnya jelas, kita semua sedang berpetualang mengarungi kehidupan dunia.

Ketauhilah saudaraku, kita di dunia ini adalah musafir dan sedang melakukan perjalanan. Hal ini harus kita sadari sebab ini perjalanan yang unik. Ini jenis petualangan langka yang merupakan anugerah terindah dari Rabb pemilik semesta.

Perjalanan yang; kita tak tahu kapan akan tiba di tujuan.

Seringkali kita lupa dan terlena akan tujuan yang sebenarnya. Sadarlah teman, kita hanya sedang melakukan perjalanan ke akhirat melalui dunia. Kita hanya sedang diberi kesempatan oleh Allah untuk mencari perbekalan terbaik sebelum pulang ke kampung halaman nenek moyang kita Adam 'alaihi salam, Jannah Firdaus.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِى وَمَا لِلدُّنْيَا مَا أَنَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَ تَرَكَهَا

“Apa peduliku dengan dunia? Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya.” [HR. Tirmidzi No. 2551]

Renungkanlah. Ketika anda sedang menempuh perjalanan pulang menuju kampung halaman, “Apakah kita bisa membawa banyak bekal?”

Tentunya kita mempunyai kapasitas terbatas untuk membawa perbekalan. Kita hanya membawa keperluan yang kita butuhkan di kampung halaman kelak.

Begitupun ketika berpetualang menuju akhirat. Kita harus memaksimalkan bagasi yang tersedia dengan kantong-kantong pahala yang mampu dibawa.

Tanyakan pada para perantau, seberapa besar rindu mereka pada kampung halaman meski sedang sangat sibuk di perantauan. Motivasi yang sama dapat kita terapkan, seberapa besar rindu kita pada Jannah saat sedang disibukkan dengan urusan duniawi?

Sejak kita akhirnya memutuskan untuk melanjutkan bertualang, nyatanya suatu saat kita tak mampu menahan hasrat untuk pulang. Melepaskan rindu dalam ketenangan, pada sang pencipta.

Tak ada salahnya untuk istirahat sejenak. Terkadang, seorang petualang berhenti bukan karena lelah. Melainkan hanya untuk mengamati jalan agar tak salah arah. Kembali melanjutkan petualangan ketika yakin bahwa tujuannya pasti akan dicapai.

Karena rumah kita bukan disini. Rumah kita bukan di dunia. Tempat tinggal kita bukan sekedar tempat yang fana.

Manusia adalah perantau. Mengadu nasib di dunia sebelum mudik ke akhirat.

Rumah kita, adalah Jannah. Sebenar-benarnya kampung halaman yang dijanjikan.

Sudah sampai mana, persiapanmu untuk pulang ke Jannah?

- 30 Ramadhan 1440 H / 4 Juni 2019
Medan, kampung halaman sementara.

Comments

Post a Comment

Lihat juga: