Bab 16 : Aku Menujumu



Pergi. Sama seperti sebelumnya. Tak berubah, tak berganti. Aku tetap mencintai terminal pemberhentian dengan puluhan tujuan keberangkatan, stasiun kereta api beserta belasan rel penghubung harapan dan kenyataan, atau pun dermaga  kayu yang setia menyambut sosok dari perantauan. Aku tetap berjalan, tetap berharap, dan tetap mendoakan. Doaku sederhana; seperti doa pohon kepada langit yang mengharap hujan, seperti doa nelayan kepada Tuhan yang mengharap ikan, atau seperti doa kebanyakan manusia yang mengharap kekayaan.

Saat kaki memintaku untuk berhenti, aku rasa itu berarti ujung jalan bagiku. Ada tembok besar di sana. Tinggi menjulang. Aku tak punya pilihan selain berbalik arah dan menuntut pulang. Mengadu pada semesta bahwa aku telah kalah; tak sanggup melanjutkan perjalanan. Aku telah selesai untukmu.

Langit tampak mendung di kejauhan. Aku masih menanti akankah semesta memberi petunjuk baru tentang persinggahan, atau memang semesta menakdirkanku untuk menyingkir dari arena perjuangan. Sungguh kelam, aku tak diberi banyak pilihan. Dilema oleh banyak keadaan. Dikurung oleh awan mendung yang sebentar lagi menjadi hujan.

Mungkin di sini aku akan menuntaskan Bab 13 yang tak selesai. Saat itu, aku tak mengerti mengapa semesta tiba-tiba menghadirkanmu. Aku masih berusaha memahami banyak arti. Aku tahu semesta memang tak dapat ditebak, tapi bukan begini cara mainnya.

Awalnya, aku telah memutuskan untuk bertolak menuju titik singgah berikutnya. Entah aku akan singgah atau menetap, hanya waktu yang akan menjawabnya. Aku tak terlalu peduli. Aku menyiapkan perbekalan seperlunya, berharap yang terbaik ketika fajar tiba. Semoga jalanku kali ini baik-baik saja.

Namun, ada anomali yang diciptakan semesta. Kompas petualanganku tak mau menunjuk arah lain selain kembali padamu. Hanya tertuju padamu. Tak ada jalan selain itu. Semesta berbisik bahwa aku tak sadar telah tiba pada tujuan sebenarnya. Aku harus kembali.

Setelahnya, aku tahu bahwa perjalanan menujumu masih sama seperti sebelumnya. Aku dipaksa berenang dalam samudera ketidakpastian. Menceburkan diri, menyelam, dan menerima apa pun sebagai takdir kehidupan. Bertarung melawan derasnya arus keraguan. Tanpa banyak bicara, tanpa banyak mengelak, dan tanpa sedikit pun menolak. Satu sisi, kehidupan selalu mempunyai rencana yang tak terduga. Rencana-rencana yang indah, bak pelangi setelah badai yang mengoyaknya. Aku percaya pada eloknya pelangi di ufuk jingga.

Perlu satu lompatan besar bagiku untuk mengejar ketertinggalan. Aku menunggu giliran untuk menyebrangi jembatan penghubung antara masa lalu, sekarang, dan lusa. Aku benar-benar belajar untuk mengerti tentang pola hidup, problematika, dan solusi-solusi yang seakan utopia. Aku sendiri, berada pada ujung jurang ketidaktahuan, dan tak tahu kapan aku akan jatuh dan meredam kesakitan.

Saat sakit itu datang; luka, kebingungan dan resah bersatu menghadangku di tengah jalan kembali. Saat itu, seolah kaki tak mau lagi berjalan dan menemani. Aku melawan sebab belum kutemukan tujuan pulang. Aku masih menanti. Akan terus menanti.

Aku bergerak semestinya, berusaha menjadi semestamu.

Aku akan kembali pada titik yang sebenarnya pernah kusinggahi.

Aku akan menemukan tempat terbaik untuk melepas segala resah.

Aku pergi untuk menemui diriku yang hilang, yang tersesat oleh kesepian, yang terabaikan dalam kesunyian. Aku menujumu.

Comments

Post a Comment

Lihat juga: