Bab 19 : Bukan Persimpangan, Ternyata Ujung Jalan
Aku tidak akan berpura-pura melahirkan tangis, tapi hangatnya dirimu kini membakar piluku habis. Tersisa kini hanya abu dari sisa-sisa sinar pengorbanan yang kamu sirnakan tanpa ada alasan. Kukira dirimu mengharapkan adanya afeksi, tapi ternyata sedikit usaha yang ada nyatanya tak menghadirkan sedikitpun reaksi.
"Maaf aku tidak cukup rasional menerima semua penjelasan, karena yang kulakukan hanya membayangkan kita di masa depan, tanpa pernah membayangkan rasanya kehilangan," ucap nalarku dalam diri sendiri. Ternyata bertemu denganmu adalah sebuah rencana bahagia yang berujung bencana.
Tidak perlu merasa bersalah dan jangan menyembunyikan bahagiamu di hadapanku, karena aku tak cukup munafik untuk bisa tetap bahagia di balik pura-pura. Terus terang kukatakan bahwa aku tidak lihai bersandiwara.
Perjalanan dalam menujumu pasti melalui sebuah persimpangan. Aku tahu itu bukan akhir, sebab setelah itu masih banyak rintangan, tantangan, dan halangan untuk meraihmu.
Butuh perjuangan, menyeberangi jembatan bernama ketidakberanian. Aku menerobos palang kebingungan dengan berbekal petunjuk bertajuk keingintahuan.
Memang berat melupakan suatu hal yang tak selayaknya dilupakan. Memang sulit meninggalkan suatu hal yang masih pantas dipertahankan. Namun, dirimu tak goyah malam itu; saat menyatakan bahwa aku tak punya jalan untuk terus melaju. Mengulangi sekali lagi harap yang ingin kamu kejar. Menegaskan bahwa kini jalur yang kita tempuh -harus- berbeda.
Kala akhirnya aku tiba di persimpangan, aku kira aku akan punya dua —atau setidaknya lebih dari satu— pilihan. Ternyata, dua jalan itu hanyalah ilusi khayalan. Aku bukan tiba pada persimpangan, aku hanyalah tiba di ujung jalan. Memang benar katamu, aku tak diizinkan untuk terus melaju.
Sebelum aku selesai mengemasi keperluan dan mencari peraduan, kutuntaskan tulisan singkat ini untuk menyampaikan —"Dik, tetaplah menjadi dirimu. Tetaplah istimewa, dunia harus tahu itu."
Aku bukan peracik frasa semiotika mahasempurna. Sebaliknya, aku kerap kali kebingungan untuk mengisi diksi di antara dua tanda petik yang maharumpang. Tapi satu hal; dirimu mengajarkan bahwa aku tak perlu selalu sempurna dan terlihat benar.
Karena jika menyayangimu adalah sebuah kesalahan, maka aku tak butuh pembenaran.
Wow, dilematis sekali.
ReplyDeletegilaaa mantapp bgt
ReplyDelete