Bab 20 : Ada Saatnya Kau Lelah dalam Perjalanan


Pada halaman buku terakhir yang aku baca sore tadi, aku tak sanggup meneruskan hingga tinjauan pustaka. Aku terlalu asyik memberi interpretasi atas sub-bab yang tak linear dengan judul besar. Terlalu membosankan, lantas aku tertidur di dalamnya. Hanyut. Tidak kutemui seorang pun, selain kau yang bersedih. Satu-satunya gadis. Satu-satunya yang menangis.

Kau terus menangis, terisak, dan dalam kesedihan yang begitu mendalam. Kau berkata kepada langit yang memerah jingga; "Aku ingin terus menangis, mengalirkan air mata, menghujani tanah dengan kesedihan orang-orang malang, dan semoga air mataku menjadi sungai yang mengalir dan jernih untuk orang-orang agar tetap bisa hidup dan bertahan. Aku ingin menangis, bukan karena perasaanku yang patah. Tapi karena aku ingin berguna, walau hanya bisa dengan air mata." Kata-kata terakhirmu barusan, membuatku bangun dari mata yang ditidurkan keadaan. Sungguh mulia.

—Pun, aku baru memetik pelajaran baru dari bab 19 sebelumnya, tentang menerima keadaan yang tak diberi kesempatan. Tentang tak semua angan yang dapat dipaksakan menjadi kenyataan. Kisah tentang persimpangan yang ternyata ujung jalan. Tak apa, ternyata ujungnya tetap baik-baik saja. Meski kita tak berjumpa bahagia.

Ada saatnya kau lelah dalam perjalanan panjangmu. Itu wajar. Sebuah usaha untuk menemukan ketenangan dan makna hidup sebagai seseorang yang merasa lebih berilmu. Ada saatnya kau jenuh dan merasa tidak berguna sebagai manusia cerdas yang dibesarkan oleh universitas; yang kau anggap tak beda dengan penjara yang mengunci kemerdekaan akalmu. Ada saatnya kau merasa terempas, tidak berdaya di dunia orang dewasa yang begitu kejam menikammu dan membunuh kewarasanmu secara perlahan. Ada saatnya juga kau ingin sendiri bersama ruang-ruang sunyi; mendengarkan kata hati lebih dalam dari palung terdalam sekali pun di dunia ini. Ada saatnya kau sejenak beristirahat; menghela nafas yang kian berat sebab beban yang makin hebat.

Lalu ada saatnya, kau membutuhkan sosok pendamping di tengah perjalanan. Entah kenapa, dirimu memilihku sebagai navigator pengganti, entah untuk berapa lama. Sialnya, kau benar-benar tahu kelemahanku; aku tak kuasa menolak segala permintaan sahabat lamaku.

Izinkan aku menanam sedikit mantra. Mari kembali ke langkah awal, kembali kepada apa-apa yang menjadikan kita sekarang. Berbagi dan menyadari betapa tidak berdayanya kita jika tidak ada manusia lain di sekeliling kita. Ya, benar. Manusia itu termasuk dirimu.

Tapi ku mohon, jangan terlalu banyak berharap padaku. Aku bukan siapa-siapa.

Di dalam bentala, aku hanyalah simetri fonem kecil yang lenyap tak bersisa —habis diamuk renjana. Kemudian kau sulap aku mejadi euonia dalam bisik luminair.

Aku bukan Sapardi yang menjadikan Juni menjadi sangat derana —tabah dan penyabar. Aku hanyalah purusa yang menantikan kemarau Juni di atas bumi yang mulai niscaya.

Aku bukan Dewa Pompeiana yang ikut ambruk bersama meletusnya Vesuvius —hilang tak berbekas. Tengara tentang kita pasti bertahan hingga ribuan bilangan tahun ke depan.

Aku bukan Chairil yang berkelakar hidup adalah urusan menunda kalah —sebab meskipun ia benar, aku ingin menghabiskan hidup dengan kalah di relungmu.

Aku bukan pula Athena yang mampu mencipta suralaya dalam satu kejap —sempurna tanpa cela. Tempo hari aku bermonolog, arunika itu ada di pinggir nabastala —yang aku lebih senang menyebut sebagai senyum indahmu.

Dalam prasasti kuno yang kau sebut bagai abhati, seribu pinta menyeruak dari amigdala. Semoga aku dan kau abadi —dalam panjat doa yang tak hingga.

Dan kini, terserahmu. Istirahat lebih lama, atau melanjutkan perjalanan bersama. Sekali lagi, terserahmu.

Comments

Lihat juga: