Bab 21 : Menjadi Manusia Merdeka
Ketika sebuah badai menghantam ekspedisi kapal hingga hampir karam, tugas seorang nahkoda bertambah berkali-kali lipat. Ia tidak hanya memiliki misi untuk memastikan kapal —beserta seluruh awak dan asetnya— tiba di pelabuhan tujuan, tapi fokusnya kini adalah bagaimana menjaga keseimbangan kapal kembali stabil. Tidak tenggelam setelah dikoyak-koyak gelombang topan adalah sebuah prestasi membanggakan. Menjaga ritme adalah kuncinya. Sekeras apapun anomali laut yang menerjang, menjaga ketenangan di atas dek kapal adalah tahap awal untuk memastikan semua kru kembali pada posisinya. Amati, adaptasi, dan fokus pada tujuan.
Kapten yang hebat adalah pelaut yang mampu menjaga kapalnya dari badai dahsyat. Mengarungi samudera mahaluas dan menjadi nahkoda yang ulung, untuk mengarahkan armadanya menuju tanjung harapan. Atau pulang kembali ke pelukan bumi kampung halaman.
Seorang pelaut yang mengabdikan hampir seluruh hidupnya di tengah lautan adalah sosok yang paling paham makna kemerdekaan. Terbebas dari jerat kejamnya daratan, yang penuh penguasa zalim, pembunuh sadis, atau perampas tanah yang bengis. Tak ada perampok licik, pejabat korup, atau profesi jahat daratan lainnya di tengah megahnya bahari. Meski ada kemungkinan ia akan berhadapan dengan bajak laut atau perompak, setidaknya lautan yang mendominasi hingga dua per tiga bagian bumi seolah punya janji bahwa ia hampir tak bertepi. Kau bisa lari, lari, dan lari.
Pada akhirnya, merdeka adalah soal menentukan hak atas nasib sendiri. Titik awal merdeka adalah berangkat dari keputusan kelam yang diperoleh sebab kecerobohan di masa lalu, dan tiba pada fase berdamai pada kebenaran yang menyakitkan. Sebuah tamparan fakta bahwa seseorang pernah dipinggirkan. Bahwa ia pernah berada pada posisi menjadi cadangan dan pilihan ke sekian. Ia tahu rasanya tidak diprioritaskan. Ia adalah aku.
Saat itu, alibi satu akan menegakkan pondasi bagi alibi dua, alibi dua akan membangun posisi alibi tiga, dan begitu seterusnya. Hingga terciptalah istana fana yang rapuh sebab sendi-sendinya merupakan kepura-puraan. Menutupi satu lubang dengan lubang galian lainnya.
Keabsahan dari sebuah kepercayaan adalah ketika tak perlu meyakinkan orang lain untuk memberi harapan. Membiarkan waktu berjalan, cerita merakit bagian demi bagian, dan tiap kisah tuntas menjadi sebuah kesatuan.
Merdeka juga merupakan pilihan untuk menjadi bahagia atau sengsara. Termasuk memilih untuk
mengagumi dengan atau tanpa tanda, menjadi menyayangi dengan sepenggal atau sekujur atma, lalu melepaskan dengan separuh atau seluruh jiwa, hingga melupakan dengan sebagian atau segenap raga.
Pilihan kebebasan ada di tangan para pelaut antar samudera, pejalan antar benua, atau penjelajah antariksa. Nilai kemerdekaan ada di lubuk jiwa para musafir yang memilih untuk tidak berdiam diri; bergerak dan terus mencari persinggahan baru.
Kini musafir itu memilih untuk mengembara bersama kejora melintasi semesta yang penuh realitas, menembus ambiguitas, menerabas hukum singularitas.
Sementara aku memilih untuk kembali berkelana, kau boleh memilih untuk menuju suralaya. Pergi meninggalkan distopia yang penuh sengketa. Karena di sana, dirimu hanya akan bersemayam di singgasana dan menjelma paduka. Tak ada kata selain bahagia.
Tak ada angkara, durjana, atau dukacita. Serta tidak ada hal paling menyedihkan —kisah kita.
Banyak cerita yang kita dapat dari sosok yang menepi dan melakukan pengasingan. Tak perlu kusebut satu per satu, kau pasti paham maksudku. Mereka melakukan itu dengan satu tujuan, yakni kembali dan melakukan perlawanan. Perlawanan tidak hanya diselesaikan dengan memberi racun dan menghunuskan pedang. Terkadang, menjadi matang dan dewasa adalah bentuk perlawanan yang paling merepotkan.
Karena bagiku, kebebasan mengeksplorasi adalah segala-galanya. Keleluasaan adalah tawaran yang tak dapat dinegosiasikan. Tak ada pilihan untuk terhina dalam kungkungan. Sebab merdeka merupakan prinsip dan harga mati, bukan pilihan.
Comments
Post a Comment