Bab 25 : Sayap Kukila
Kukila kecil itu punya impian besar untuk mengarungi angkasa. Membesuk megahnya dirgantara lewat celah gumpalan mega. Namun, sering kali ia menganggap akan ada pemangsa udara yang jauh lebih perkasa. Ia takut akan mengudara. Ia akan selalu bersembunyi di balik bentala. Selamanya.
Kukila sangat mengagumi cakrawala. Meski ia tak pernah mencapainya. Kukila hanya bisa menikmati dari kejauhan saja. Kukila takut menghampirinya.
Ternyata hal yang paling sulit adalah melompati ketakutan yang kita ciptakan sendiri.
Nyatanya, ada banyak ketakutan yang tak benar-benar nyata. Setelah berulang kali menolak berjumpa dengan ketakutan, kita selalu tak kuasa memusnahkannya. Kembali bertemu, lagi dan lagi. Ia akan hadir menemanimu sepanjang perjalanan.
Ketakutan adalah sebuah kondisi yang sengaja diciptakan manusia untuk menjelaskan situasi di mana lingkungan sedang tidak berpihak padanya. Takut adalah pilihan di hati kecil saat seluruh jiwa raga sedang mencoba melompati sebuah batu sandungan bernama kegagalan. Karena, manusia selalu berpikir bahwa ia diciptakan untuk serba bisa. Melampaui semua yang mempunyai batas, termasuk ketakutan.
— Sedangkan meraihmu, adalah jenis ketakutan yang istimewa.
Aku butuh jembatan yang lebih panjang untuk menyebrangi lakuna yang hampa. Selayaknya menjadi kosmonot yang sedang bermonolog pada asterik, tak bermakna.
Aku menunggu kesempatan itu di sini. Berdiri, sendiri. Menebak di titik mana kau mulai kelelahan, di putaran ke berapa kau memutuskan untuk menyudahi pelarian. Dua kali, tiga kali, empat kali, berkali-kali. Namun akhirnya kau tak beri kesempatan itu meskipun sekali. Berlari, semakin berlari, dan terus menjauhi.
Kita belum tiba pada tirta amarta. Belum dan tidak akan sampai juga. Masih sunjam dalam mantra nan durjana dan angan yang terlahir prematur, tak purna. Masih remaja naif yang terlibat palagan atas diri kita sendiri. Oleh angkasa. Oleh semesta. Melukis andromeda, ucapmu. Mustahil, kataku. Namun, kita hanya pengembara tanpa peta di atas luasnya bumantara.
Seandai amerta. Seandai kemarau tak pernah sirna. Seandai aku tak diamuk prahara. Seandai kugenggam jemarimu lebih lama. Barangkali, saat ini kita telah tiba di akhir cerita. Menikmati harumnya asoka. Melihat gembala. Menaiki bianglala. Tapi karenanya, kita memiliki waktu lebih lama untuk menikmati teriknya baskara. Kita masih bisa; setidaknya untuk menjadi nyata.
Tentang swastamita yang kupanggil dengan namamu. Paling barat, supaya selalu kuingat. Lara akan berganti harsa, hingga tak bersisa --sebab candra akan terbit di nayanika, pelupukmu.
Heyy, aku selalu suka dgn tiap detak tulisanmu. Lanjutkann bii
ReplyDeleteTerimakasih kak mep!
Delete