Bab 27 : Medioker
Dua hingga tiga malam terakhir, dalam belasan diskusi dan interaksi berwujud rangka penjaringan aspirasi; aku berkontemplasi bersama mereka yang penuh ambisi. Sejurus dengan itu, agenda lainnya adalah kembali menyamakan frekuensi.
Aku bertemu putri kecil, yang bercerita tentang impian-impian mungilnya. Aku bertemu si serba bisa, yang ingin melebarkan kemampuannya hingga angkasa. Aku bertemu penutur nasihat, yang bijaknya segagah bumantara. Aku bertemu penyabar ulung, yang penantiannya setabah Nanggala. Aku bertemu mereka semua; ibarat bangunan yang kokoh, merekalah pondasi kuat yang menjadi alasan di baliknya.
Pesan-pesan mereka membuat bab kali ini mustahil aku sebut biasa saja. Layaknya teman lama, kami berdiskusi panjang lebar tentang retorika dan nostalgia yang aku saja masih heran —mengapa bisa?
Seperti orang bijak lainnya, mereka banyak memberi petuah. Sampai dua kesimpulan akhirnya membuatku tertegun.
"Menjadi biasa saja, itu pilihan. Tidak ada yang salah untuk menjadi biasa-biasa saja," katanya.
—Obrolan malam macam apa ini, pikirku. Ah tapi, ada benarnya juga. Tidak ada yang salah dengan tidak menjadi pemenang. Dunia tidak akan murka jika kita hanya meramaikan sebatas menjadi peserta.
Sama halnya ketika suatu ketika, perjalanan kehidupan menuntun kita pada pilihan-pilhan yang dilematis.
Menjadi biasa bukan sebuah dosa. Dalam pertarungan antar jiwa-jiwa kompetitif manusia, keinginan untuk menjadi biasa saja justru merupakan kenikmatan luar biasa. Dijauhkan dari beban yang benar-benar membuat sakit kepala. Biasa bisa menjadi luar biasa.
Karena pada akhirnya, benar dan salah menjadi relatif. Ketika etika menjadi kesepakatan bersama, konsensus dijadikan banyak pihak sebagai acuan dan parameter utama. Sialnya, kita hidup di tengah hirarki yang penuh ketimpangan. Seperti bentuk piramid yang semakin mengerucut ke atas, level kehidupan semakin menyempit dan hanya memilih orang-orang terpilih untuk merasakan kenikmatan tersebut. Di atas sana.
Sedangkan orang-orang ini, memilih menyingkir dari perebutan atas pengakuan —hebat, luar biasa, sang juara—dari sebagian besar manusia. Mereka lebih memilih berjuang di jalan yang berbeda; melawan konsensus publik. Mereka mengarungi arus yang sama sekali berbeda dari sungainya para pengejar nomor satu. Mereka puas dengan usaha mereka sendiri. —Mereka, para medioker.
Menjadi medioker adalah menolak menghamba pada standar kebanyakan manusia. Memilih hidup pada jalan yang tidak dipilih kebanyakan para pengejar dunia. Tidak terlibat pada apa-apa yang digariskan struktur sosial sebagai kinerja dan performa mahasempurna. Menjadi seutuhnya. Menjadi sepenuhnya. Menjadi merdeka.
Bagi mereka, hidup tak sehitam-putih dalam memaknai menang dan kalah. Lebih dari itu, hidup adalah soal menafsirkan begitu banyak misteri. Bersyukur ketika menang, bertafakur jika kalah. Berbahagia meski tak terjadi apa-apa.
Dari perbedaan rute masing-masing manusia dalam menuntaskan setiap fase perjalanan kehidupan, kita sering alpa. Kita akan menemukan banyak rintangan dan ujian yang beda jenisnya, tapi sama sulitnya. Entah jalan yang makin terjal, tebing yang makin curam, jurang yang makin dalam, atau langit yang makin tinggi. Penantian yang akan menyatukan semua penderitaan tersebut.
Dalam setiap berhasil atau gagalmu, dalam setiap beruntung atau sialmu, dalam setiap tawa atau tangismu, kita hanya punya satu solusi konkrit: berdamai. Iya. Mari berdamai.
Berdamai dengan perasaan,
berdamai dengan kenyaataan,
berdamai dengan sebaik-baiknya perdamaian.
keren sekalii tulisannya bg
ReplyDeleteHiii, ini new fan tulisan tulisan bg abi ๐
ReplyDelete