Bab 28 : Gaharu

Kirana rembulan tak mampu menembus derau pancaroba di malam itu dan tanju di pelataran pesta telah padam dari hari sebelumnya. Bayangan jaharu dan butakala bergantian menjadi tamu, hendak merampas lilin pengabul angan. Gadis itu ketakutan-harus lekas merapal. "Tuhan, kirim lagi kemarau untuk Juni tahun depan.”

Di saat kapal yang dinanti tak kunjung tiba dan bersandar meski kerinduan terpampang seluas pelabuhan. Lalu setelah sekian lamanya dan kini kembali, benar-benar tiada yang tersisa —lagi.

Seperti apa rasanya? Ketika kau diberkahi sepasang sayap, namun tak pernah kau sentuh dirgantara. Tak pernah sempat kau sapa mega dan peranakannya yang bernama hujan, sedangkan anganmu melampaui langit-langit midgard. Kepalamu terus mendongak, apa yang sedang kau cari di atas sana? Suralaya? Pawaka?

Seperti apa rasanya? Ketika terbang untuk jatuh. Ketika jatuh untuk tak pernah lagi merasa utuh, Kau jelas tak pernah melihat warna darah yang paling keruh.

Di jantung gadis itu pernah tumbuh kanigara yang subur dan mekar. Di jantung gadis itu pernah hidup seorang Vincent Van Gogh ketika telinganya masih kamali sepasang. Di jantung gadis itu pernah dibangun Pulau Tak Pernah di mana kau dapat terbang dengan bantuan debu peri. Di jantung gadis itu –oh, kau tak akan percaya pernah ditinggali penghuni ekstraterestrial. Bintang-bintang, nebula, galaksi, Jupiter, spesies asing, bahkan lubang hitam yang gaduh di pusat Bima Sakti. Di jantung gadis itu pernah...

Bagai kejora jatuh yang diburu waktu -mati lebih cepat. Mati lebih cepat.

Gadis itu memilih dongeng di mana ia selamanya berkelana bersama koloni paus di angkasa lepas. Ia memilih dongeng di mana hujan adalah usianya yang amerta. Dongeng di mana ia sebesar seorang maharani-dipandang dan mimpinya dianggap ada. Gadis itu memilih dongeng dan hidup di alam baka. Karena dewasa adalah pilihan, bukan?

 

Comments

Lihat juga: