Bab 33 : Sebuah Kebingungan


Ada monster di kepalaku. Dia pandai dan gemar membuat monolog panjang dan berulang. Fantomnya sendiri kurang jelas. Aku hanya tahu, ia hitam samar dengan sepasang bayang yang beraroma usang.

Ada monster di kepalaku. Bersamanya aku pernah melihat dunia distopia tanpa luminair fajar dan kasih pertiwi yang renta dalam balut jingga. Di sana, aku menjadi ksatria yang pulang ke tanah Roma tanpa zirah maupun nama. Tanpa eulogi, mahkota, atau singgasana. Dunia seperti memaksaku menyerah pada sara bara.

Ada monster di kepalaku. Bersamanya aku pernah hidup dalam ingar bingar manusia yang menawarkanku selembar jubah bernama kalopsia, seolah hidup hanya jenaka belaka. Kala siang, aku dibentuk menjadi heliofobia. Kala malam, aku jatuh dikutuk menjadi selenofobia.

Ada monster di kepalaku. Karenanya aku pernah setakut itu pada dunia. Hampir lupa bahwa esa Tuhan itu ada, hampir amnesia bahwa kasih sayang itu nyata. Hampir lupa, bahwa kebahagiaan itu benar adanya.

Suatu hari monster itu berkata; Egoku harus mampu takluk. Aku harus bisa sekuat dan setabah Eropa yang tetap gagah pasca abad tengah. Layaknya megah Ka'bah pada tahun gajah.

Monster itu lalu berpesan; kala terkapar, cara terbaik untuk bangkit adalah berguru pada masa lalu. Aku kembali mengucap seribu pinta menjelang memejamkan mata. Berharap dan berdoa, bergerak menjadi manusia fana yang bersih dari dusta. Lebih baik untuk esok atau lusa.

Beberapa kali aku masih mendengar monster itu mengetuk mindaku, duduk di sebuah sofa dan membiarkan televisi monokrom menyala.

Nyatanya aku lebih nyaman bila ia singgah di sana. Membiarkan ia membangun istana pasir dari bermacam luka dan balada, agar aku tak lupa pernah ditimpa nestapa.

Comments

Lihat juga: