Bab 35 : Bunga Matahari Terakhir


Dulu, aku pernah bercerita tentang filosofi bunga matahari. Kira-kira isinya begini, “jika tidak mampu menjadi matahari yang indah bagi seluruh dunia, jadilah bunga matahari yang cukup indah bagi sebuah kebun.”

Esensi menebar manfaat seringkali diartikan harus menjadi yang terbaik. Itu tidak sepenuhnya salah. Namun, filosofi menebar manfaat tanpa harus menjadi nomor satu mengajarkan kita pentingnya memberikan kontribusi positif tanpa terjebak dalam perlombaan untuk meraih puncak. 

Seperti bunga matahari liar yang tumbuh dengan indah di antara padang rumput, kita pun bisa memberikan dampak positif tanpa harus selalu mendominasi. Kebermaknaan hidup terletak pada bagaimana kita bisa memengaruhi dan menginspirasi orang lain, tanpa perlu mencari perhatian atau pengakuan. 

Ia mengajarkan untuk menebarkan manfaat dengan rendah hati membuat dunia ini menjadi lebih baik, meski ia tidak selalu berada di pusat sorotan. Aku melihatnya di tengah tumpukan harapan baru yang menyenangkan.

Semuanya terjadi secara tiba-tiba. Aku mengaguminya sepenuhnya.

Kekaguman pada bunga matahari selalu menghadirkan pesona yang tak tergantikan. Tingginya menjulang dan menjuntai, menari-nari mengikuti arah matahari. Kelopaknya yang besar dan berwarna kuning cerah menghadirkan kebahagiaan dan semangat. Bunga matahari adalah simbol keabadian, mengajarkan kita tentang pentingnya tetap tegar dan berdiri tegak meski dalam kondisi sulit. 

Melihatnya mengikuti matahari sepanjang hari adalah pengingat bahwa setiap usaha dan perjuangan kita untuk mencapai cahaya akan berbuah manis. Begitu pula dirinya, penuh semangat menanti hari demi hari menolak layu dan terus menyemai kebaikan.

Sekarang aku tidak ingin kehilangan bunga matahari itu lagi. Satu tangkai tangguh yang sangat aku sayangi. 

Dia kembali menemukanku, dia mengembalikan diriku.

Comments

Lihat juga: