Bab 40 : Setahun di Titik Tak Terdefinisikan

 


Pertengahan tahun sering kali menjadi momen refleksi. Keinginan yang diraih, doa yang terwujud, juga ingin yang menjadi nyata tentunya menyenangkan. Namun, bukan sekadar itu. Mimpi belum dan tidak akan pernah didesain untuk bergantung pada parameter waktu.

Tepat setahun lalu, di hari ini; saya memutuskan untuk memulai perjalanan lain. Jakarta menjadi persinggahan. Ini bukan sekadar kota. Bukan pula sekadar lokasi. Dia hampir mustahil didefinisikan. Dalam geometri, ia ibarat titik; ia bukan bagian apalagi ukuran. Dia tak terdefinisikan.

Menurutku, dia adalah kekuatan magis. Mantra sihir yang meski beribu kali diucapkan tidak akan pernah kedaluwarsa. Jakarta adalah penyempurnaan dari lorong waktu manifestasi mimpi anak daerah tentang sebuah daerah metropolitan. Ia memikat setiap pasang mata dengan keangkuhannya. Melalui gedung-gedung tinggi, ramai sesak stasiun dan halte di jam sibuk, atau pun kemacetan saban hari, ia memberi pesan bertajuk: Meski semua kekuatanmu dilucuti, kota ini tak akan pernah mati.

Merantau ke Jakarta adalah pengalaman spiritual. Ia mampu mengubah keyakinan. Ia menggeser lebih dari 2/3 ketakutanku menjadi rasa ingin tahu. Sisanya? hangus karena untuk memikirkannya saja sudah tidak ada waktu. Menyusuri setiap gangnya mengingatkanku pada lembaran petuah dari orang-orang terdahulu, bahwa proses dan jalan berliku pasti akan bermuara pada sesuatu. Rasanya saya ingin kembali ke pertengahan 2023 dan menemui diri saya saat itu, lalu mengatakan bahwa ia akan baik-baik saja. Ia akan selalu baik-baik saja.

Saya menyenangi setiap sisi kota ini. Tempat di mana kehangatan bukan datang dari matahari, melainkan dari keramahan warga lokal dan solidaritas sesama perantau. Tempat ketika hati yang patah bukannya diobati agar lekas sembuh, melainkan dipaksa untuk patah lebih hebat lagi agar ia paham apa artinya tumbuh. Tempat saya kembali berani menuliskan ulang mimpi yang telah usang, karena saya tahu di sini kesempatan akan terus datang. Orang bilang mungkin Jakarta tak cocok bagi sebagian manusia. Tapi bagiku, ia seperti pelukan ibu. Selalu tegas mengawasi pada setiap langkah anaknya, tetapi juga selalu sigap memberi sambutan paling nyaman pada setiap kejadian tak terduga. Ibu kota, Ibu kita.

Rutinitas dan kebiasaan mulai jatuh pada tempatnya: Blok M setiap Rabu sore, ganti oli di bengkel langganan daerah Salemba, bengong di Sarinah atau Softball GBK pada Jumat sepulang kerja, mulai ingat gerbong KRL atau MRT mana yang paling dekat dengan eskalator atau lift, mulai hafal kalau di atas jam 10 malam akses jalan pulang cuma bisa dari seberang BPOM, jadi tahu karakteristik beberapa warkop sekitar kosan; kalau di Warkop A porsi bubur ketannya lebih banyak tapi di Warkop B ada menu roti bakar keju, dan baaaanyak lagi.

"Jakarta keras", kata meraka. Itulah nasihat yang selalu saya dengar ataupun adegan yang saya lihat pada setiap acara reality show di TV. Namun, sebagian hati mulai merasa Jakarta adalah rumah. Rasanya sebagian jiwa sudah tertinggal di sini. Jika kelak suatu saat Allah mengizinkan saya menuliskan otobiografi, saya pastikan bahwa bab Jakarta akan menjadi bab paling spesial; paling rumit, paling tidak bisa ditebak, sekaligus paling jenaka.

Pun di kota ini, saya merayakan banyak sekali pertemuan. Sayangnya, saya masih saja mengalami satu-dua episode perpisahan. Itu sering kali terjadi karena kecerobohan. Saya belajar memaafkan dan memaksa diri untuk tidak lagi membakar jembatan.

Saya mensyukuri setiap perjumpaan di sini. Meski ada beberapa kesempatan yang justru menjadi momentum perpisahan di persimpangan jalan, saya tetap mensyukurinya. Bisa jadi kita bertemu beberapa orang lalu berpisah hanya untuk memastikan agar kita melihat versi dunia yang tidak mungkin kita lihat jika tidak bertemu mereka.

Banyak hal baik yang didapat, sejalan dengan hal baru yang terus dipelajari. Saya melihat sudut pandang baru dari sisi berbeda; cakrawala pemikiran tentang kerelaan. Meski banyak hal yang berjalan belum sesuai rencana, saya yakin ini adalah bagian dari plot cerita kehidupan. Semua hal tentang kota ini, akan lekat dalam ingatan.

Merantau ke Jakarta akan menjadi keputusan terindah yang tidak akan pernah saya sesali. Untuk saat ini; menutup cerita, menatap ceria. Semoga.

Comments

  1. sampai jumpa di Jakarta secepatnya bg Abi…

    ReplyDelete
  2. Keren mas Abi, semua tentang Jakarta memang nyata adanya apalagi bagi sesama perantau yang berharap nasibnya lebih baik lagi dari yang sebelumnya. Tetap semangat ✊🏻✊🏻

    ReplyDelete
  3. Wahh gilaa, mau nangiss bgttt bacanyaa 🥹🤩

    ReplyDelete
  4. sehat-sehat selalu, semua sayang abi <3

    ReplyDelete
  5. terima kasih untuk tulisan indahnya, abi.

    ReplyDelete
  6. Keren banget tulisan kamu, smngat teruss ya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Lihat juga: